Belajar Hidup Sederhana

Annisa.My.Id Hidup sederhana itu mudah saja. Listrik padam adalah salah satu cara hidup sederhana. Dan hal ini juga baru saya rasakan belum lama ini.
Dikarenakan angin kencang yang terjadi beberapa hari di Pora, seng- seng atap rumah warga beterbangan atau ambruk. Katanya angin yang sekarang ini lebih besar dari tahun sebelumnya, hebat dan ngeri memang. Pohon- pohon tumbang baik yang besar maupun yang kecil. Ada pohon kemiri besar tumbang dengan akar tercabut, ada pula pohon turi, jambu mede, dan cengkih. Yang tentu lebih parah adalah pohon kacang panjang dan jagung. Tak tanggung- tanggung pohon kacang panjang dan jagung di depan rumah kami rubuh semua padahal jagungnya masih kecil- kecil dan kacang panjangnya baru beberapa kali panen. Sementara untuk pohon besar masih mending hanya beberapa saja yang tumbang. Untuk pohon coklat, daun- daunnya habis karena lelah terombang- ambing angin, akhirnya layu, kering, kemudian gugur satu persatu. Berbeda dengan pohon jeruk di depan rumah, jeruknya berjatuhan banyak sekali, baik yang kecil maupun yang besar, di atas sepertinya tinggal beberapa jeruk saja. Senang rasanya mengambil jeruk- jeruk tanpa harus memanjat. Hehe... :D
Oh ya, ada kabar orang meninggal juga di kecamatan tetangga. Kabarnya, orang itu terantuk kayu yang diterbangkan angin di kepala bagian belakangnya sehingga dia terjatuh dan meninggal. Innalillahi, jika Dia berkehendak maka siapapun tak bisa menghindar.
Kabar lucu ada juga, tentang seorang bapak- bapak yang sangat sayang pada pohon cengkihnya. Katanya sih, bapak itu naik pohon cengkih ketika angin masih bertiup sambil berkata “ Biarlah saya mati bersama tumbangnya pohon cengkih ini”. Kasihan bukan, tapi cukup konyol juga. Hehe..
Memang sayang sebenarnya kalau pohon- pohon di sini tumbang. Maklum saja mayoritas orang sini adalah pekebun. Juka musim angin seperti ini semua tanaman jagung dan kacang roboh, sementara itu cukup diandalkan dalam pemenuhan kebutuhan pangan mereka. Sementara untuk pohon cengkih, itu sangat- sangat mengutungkan bagi mereka. Asal tahu saja harga cengkih 1 kg mencapai 90- 100 ribu rupiah. Pada saat ini pohon cengkih sedang dalam masa berbunga dan akan berbuah. Cukup mempengaruhi penghasilan masyarakat bukan? Maka maklum juga bila ada nenek- nenek yang menangis saat pohon cengkihnya rubuh. Seorang tetangga saya juga sempat mengatakan, “  Enak ya yang jadi pegawai, biar musim begini mereka tetap dapat uang buat makan, sementara kami yang mengandalkan kebun musim begini mau makan apa, tanaman rusak semua dan mau menenun juga tidak bisa kalau sedang musim angin begini”. Kasihan memang.
Tetangga saya yang atap dapurnya ambruk juga menangis. Coba saja, bagaimana mau memasak sementara tidak ada kompor, atap dapur ambruk, dan kayu- kayu basah terkena air hujan, basah semua. Tungku juga basah. Ya Allah, kasihan sekali memang. Apalagi sang ayah sedang merantau, yang di rumah hanya ibu dengan tiga anaknya yang masih kecil.
Penderitaan masyarakat itu tidak sebanding dnegan penderitaanku yang “hanya” tidak bisa pegang hp lantaran listrik mati. Maklumlah ada pohon tumbang di sdusun sebelah yang memtuskan 2 kabel listrik. Menurut informasi, kabel tidak akan disambung jika angin belum reda dan ada info lagi bahwa angin baru akan reda dalam 3 hari 3 malam, kalau masih belum reda berarti hingga 7 hari 7 malam. Fiuhh.... lama sekali...
Bagi kami itu sudah cukup sangat merugikan sekali. Tidak ada yang bisa dikerjakan di luar rumah karena angin super kencang. Mungkin kami yang kurang bisa memanfaatkan waktu dengan baik, atau memang itu waktu buat kami istirahat, hehe.. tak tahulah, yang jelas saat itu kami baru merasakan hidup sederhana. Apa adanya. Seperti juga tetangga- tetangga kami.
Di lain pihak, kami sangat bersyukur karena tetangga- tetangga kami sangatlah baik hati. Setiap kali panen mereka tetap senang berbagi. Kami dikasih jagung, alpokat, ketela, pisang, kelapa. Ckckck, baik sekali. Di tengah keterbatasan, mereka masih mau berbagi. Itulah hal terpenting yang kami pelajari dari tetangga kami. Subhanallah...
Hari pertama, kedua tanpa listrik sangatlah berat dan menyedihkan. Lama kelamaan hal itu sudah terasa biasa. Hidup tanpa listrik. Kurang produktif memang, tetapi selalu berusaha mengisi waktu dengan baik. Apa saja yang bisa dilakukan dilakukan saja. Malah mati listrik membuat rajin bersih- bersih, silaturahim tempat tetangga, menulis, dan tentu tidur siang. Sambil selalu berharap sambil bernyanyi, “ Badai pasti berlalu.....”
Tahukah kawan, pada saat angin kencang begini banyak pohon pisang ambruk. Saya salut lho sama anak- anak di sini. Mereka memanfaatkan pohon pisang yang ambruk. Pelepahnya mereka buat senapan- senapan mainan, daunnya mereka buat bendera. Mulailah permainan mereka. Main tembak- tembakan, bom- boman dengan dua kubu. Indonesia vs Belanda. Lucu sekali. Menjadi hiburan kami di siang hari. Mirip aslinya, yang tertembak terjatuh, ada yang menyelinap, merayap, tiarap di rerumputan. Sambil berteriak, “ Merdeka... Merdeka..”

Dan ternyata benar kawan, setelah 7 hari 7 malam badai berlalu. Namun mati listrik hingga 10 malam.. mantap,...:D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Instagram