LINGKUNGAN PORA

Banyak yang bertanya- tanya pada saya tentang lingkungan tempat tinggal saya di Pora, NTT. Jadi saya membuat tulisan ini, tentang kondisi lingkungan Pora. Kurang lengkap mungkin, karena yang saya tuliskan sebatas pengetahuan dan ingatan saya. Hehe... (ini ringkasan dari cerita2 sebelumnya)

Bismillah, semoga yang saya tulis tidak berlebihan dan apa adanya.

Denah rumah







Begitulah kira- kira letak rumah saya dan kedua teman saya. Rumah kami terletak di pinggir dusun sehingga tidak terlalu berdempet- dempetan letak rumah satu dengan yang lain. Lagipula tetangga kami hanya 1 saja yang terdekat.


Jalan depan rumah adalah jalan aspal berlubang- lubang dan merupakan jalan utama menuju kota atau desa Nggela ( desa di pesisir pantai berjarak 2 km dari rumah kami).


Lingkungan tempat tinggal kami sejuk dan asri. Maklumlah banyak pohon- pohon besar, kebun dan hutan. Lingkungan kami termasuk sepi karena berada di pinggiran dusun. Biasanya suasana cukup ramai bila ada orang- orang jalan di depan rumah untuk pergi / pulang kebun, anak- anak yang main bola di lapangan, orang- orang pergi gereja setiap minggu, atau anak- anak yang pergi ke masjid tiap jumat dan ahad sore. Di luar itu suasana sepi sekali. Terutama pada hari minggu siang atau setiap malam hari. Sangat sunyi. Hanya suara jangkrik bersahutan riuh rendah dan sangat sedikit suara motor lewat.

Setiap hari penjual ikan lewat di jalan. Selalu, setiap lewat mereka membunyikan klakson panjang- panjang. TTIIIINNNN....TTIIIINNNN....TTIIINNNN....sambil teriak “IKANIKAN....IKANIKAN....”, dan melaju dengan kencangnya. Aneh sekali yah orang jualan kok ngebut- ngebut. Namun memang kebiasaannnya begitu. Orang jualan tahu/ tempe dan sayur juga. Maklum orang di Pora terbiasa berteriak karena kondisi geografis yang bergunung- gunung. Suaranya keras- keras. Jadi kalau mau membeli ikan, begitu dengar suara klakson mereka dengan sigapnya keluar rumah dan berteriak.. “IKAN APA??” dan penjual ikan pun berbalik arah kemudian transaksi berlangsung.

Sungguh pada awalnya merupakan sebuah pemandangan yang aneh. Akan tetapi kini sudah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi. Kamipun juga jadi ikut- ikutan. Kalau sedang butuh ikan/ tahu/ tempe begitu mendengar suara klakson sontak kami teriak “TAHUUU”(walupun ternyata yang lewat adalah penjual ikan) xixixi.... karena tidak enak, jadi terpaksa beli deh...

Di desa Pora banyak orang memelihara anjing, babi, kambing, dan sapi. Sedikit- sedikit ada yang memelihara ayam, kuda, dan kucing.

Tentang anjing

Anjing hampir dapat ditemui dimana saja. Jadi kalau jalan harus hati- hati. Biasanya banyak kotoran anjing di jalan, apalagi di lapangan. Kalau ada kubangan air di jalan jangan sampai kena airnya. Biasa anjing buang air di situ atau di rerumputan pinggir jalan. Kalau takut anjing, begitu ada anjing mendekat/ menggonggong cepat segera ambil posisi jongkok ambil batu. Pasti anjingnya pergi karena rata- rata anjing di sini adalah peliharaan/ anjing rumah jadi mereka tidak terlalu berbahaya. Anjing yang berbahaya adalah anjing rabies dengan ciri- ciri ekor ke bawah, lidah menjulur- julur dan berair... tapi tenang, di sini cukup aman karena dulu pernah ada pemberantasan rabies di kampung ini.

Tentang babi
Babi yang dipelihara kebanyakan dikandangkan pemiliknya, hanya sedikit saja yang dibiarkan berkeliaran di halaman/ di jalan. Setiap pagi dan sore hari, jangan heran bila mendengar babi- babi berteriak- teriak sekencang- kencangnya. Jeritan babi itu menandakan mereka sedang lapar. Awalnya saat kami belum tahu, kami kira itu adalah suara babi yang menjerit minta tolong karena ada pembantaian babi masal. Namun, ternyata suara babi kelaparan saja dan mereka akan diam setelah dikasih makan. Makanannyapun tidak sembarang. Daun- daun atau sisa- sisa sayur yang dipetik mesti dimaak dulu baru diberikan. Manja sekali memang. Xixi...

Tentang ayam
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah jangan sekali- kali memelihara ayam dan kucing bersama- sama. Kucing di sini ganas- ganas, jadi kalau mau memelihara ayam harus dikandang rapat- rapat. Jika akan melepaskan ayam, perlu perhatikan ayam- ayam itu. pernah suatu malam ayam- ayam tetangga kami tidur di atas pohon. Pada tengah malam kami mendengar ayam- ayam itu berteriak- teriak minta tolong. Mereka berlari seperti dikejar- kejar sesuatu. Paginya ayam- ayam itu telah tiada. Seekor induk ayam dan beberapa anaknya menghilang atau kemungkinan dimakan sesuatu. Sesuatu yang mungkin kucing, anjing, atau hewan lainnya. Namun, menurut tetangga kami itu adalah perbuatan makhluk yang disebut kurcaci, semacam tuyul yang bisa berubah- ubah bentuk menjadi kera, kucing, dsb. Konon kalau orang berani keluar untuk menggertaknya, orang itu akan ketiban sial/ mati dengan segera. Yah, mungkin mitos. ^^

Tentang kuda
Kambing, sapi, dan kuda biasa ditinggalkan pemiliknya di kebun atau pinggir- pinggir jalan. Di sini kawasan aman, tidak ada curi- curian jadi yang punya piaraan santai saja. Ada hal unik yang berkaitan dengan kuda. Pada suatu malam kami mendengar suara kuda pada tengah malam. Semalaman suara kuda meringkik- ringkik sangat dekat sekali seperti ada di samping rumah. Kami bertiga takut dan tidan berani keluar. Alhasil kami begadang tidak bisa memejamkan mata samalaman. Paginya kami tanyakan pada tetangga kami perihal suara itu. tetangga kami tidak mendengarnya. Namun kata tetangga kami memang kadang ada kuda ditambatkan di sekitar lapangan. Kami agak lega. Meski demikian, ada pula rekan guru yang mengatakan bahwa itu adalah sejenis makhluk halus yang sengaja mengganggu yang disebut suwanggi. Jika terpancing melihat keluar, maka kami akan diculiknya. Biasa, lagi- lagi mitos. ^^

Mayoritas warga Pora adalah pekerja kebun. Orang- orang di sini rata- rata mempunyai kebun yang luas dan ditanami ketela, jagung, kacang, kemiri, coklat, dll. Hasil kebun biasa dikonsumsi untuk makanan sehari- hari, kalau berlebih baru dijual. Sementara itu bagi kaum ibu pekerjaannya bertambah berat karena mereka biasa menenun kain. Kain tenun khas Pora cukup terkenal. Konon kainnya dikenal lebih awet, warnanya bagus dan tidak cepat luntur. Karena pengerjaannnya yang membutuhkan ketlatenan, memakan waktu cukup lama, dan dengan cara manual maka harganyapun sepadan. Harga kain sarung wanita (lawo) rata- rata seharga RP 500.000,00 dan untuk kain sarung laki- laki berkisar Rp 150.000,00. Harga yang cukup besar selisihnya ini dikarenakan kain wanita bermotif bunga- bunga dan memakai teknik ikat sedang kain laki- laki hanya tenun biasa tanpa teknik ikat.




Pekerjaan masyarakat yang rata- rata pekebun turut memengaruhi kebiasaan anak- anak. Anak- anak Pora terbiasa bekerja keras. Memantu orang tuanya di kebun, memikul kayu, memasak, dll. Hebatlah pokoknya. Bagi mereka parang yang tajam dan seperti pedang bukanlah benda yang asing. Mereka biasa naik pohon kelapa, mencari rumput, kayu, dan hasil kebun lainnya. Saya salut sekali pada mereka.



Pokoknya Pora sungguh berkesan.^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Instagram