Tawakal, Serahkan pada Allah & Nikmati Hidup Ini

 Saya seorang perantau, bekerja jauh dari suami dan anak-anak. Saya bertahan karena suami mengizinkan. Dalam tulisan kali ini saya hanya ingin berbagi. Terkesan seperti curahan hati ya..





Terkadang ada orang yang bertanya “kok bisa jauh dari keluarga?” , “apa nggak sedih jauh dari anak- anak?”, “kapan kamu pindah dan berkumpul dengan keluarga?” sebenarnya sedih juga mendengarnya. Namun, karena niat saya sudah mantap ya jalani saja apa yang ada.

Selama ini saya bertahan karena saya yakin pada ketentuan Allah SWT. Yah walaupun keinginan untuk pulang dan berkumpul dengan keluarga memang menggebu di awal keberangkatan, di tengah juga, hingga akhir masa kepulangan. Setiap mengingatnya saya akan berpikir bahwa, saya di sini atas ridho suami saya dan ridho Allah SWT. Kalau saya sedih, keluarga terutama anak- anak pasti turut merasakan juga. Maka saya berusaha untuk menahan diri, berusaha untuk tetap baik-baik saja. Saya yakin nantinya kalau sudah saatnya saya harus kembali, insyaAllah akan ada kemudahan untuk kembali. Semua ini berproses, yang penting ikhtiar dulu.

Sebagai contoh kepulangan saya pada masa pandemi kemarin. Saya bertahan di kampung tempat tugas karena merasa lebih aman, peluang penyebaran virus tidak akan sebesar di kota. Hingga saya mulai kehabisan bahan makanan dan kebutuhan pokok, saya memutuskan untuk berangkat ke kota kabupaten. Di sana, saya memantau kabar terbaru dan menimbang apakah akan pulang atau tidak. Jika pulang kemungkinan bisa terpapar virus di perjalanan, kalau bertahan saya cemas dengan situasi yang memburuk dan takut terkunci lama tidak bisa pulang. Akhirnya suami meminta saya untuk pulang. Okelah, saya akan coba cari jalan.

Di Papua Barat pemerintah daerah melakukan penutupan bandara. Saya rasa, kali ini saya tidak bisa pulang.Namun, kemudian ada kabar bahwa bandara dibuka pada tanggal sekian dan sekian. Saya mulai berharap. Posisi saya berada di Kabupaten Raja Ampat. Untuk mencapai bandara di Sorong, harus menyebrang lautan. Biasanya saya menaiki kapal besar, tetapi pada saat itu kapal penumpang tidak beroperasi. Hanya kapal barang saja yang pulang pergi memenuhi stok berbagai kebutuhan di Raja Ampat. Saya mulai menyerah.

Beberapa hari kemudian saya memantau Facebook dan mendapat informasi tanggal sekian bandara buka, tanggal sekian ada penerbangan Susi Air dari Raja Ampat ke Sorong. Saya mulai mencari jalan pulang. Saya sudah meniatkan, seandainya saya bisa mendapatkan tiket, saya akan pulang tetapi kalau gagal saya ikhlas. Saya mulai berikhtiar.

H-1. Mulai dari usaha mendapatkan tiket Susi Air. Pada pagi hari saya berencana menuju bandara udara Marinda Raja Ampat yang jaraknya cukup jauh dari kota, jalannya sepi dan medannya naik turun. Saat bertanya dimana arah bandara, teman seperjuangan, yang tinggal di samping kos mengatakan,”jangan ke sana. Jauh. Biar saya yang ke sana. Tunggu informasi saja di sini.” Ohoo… terharu sekali, teman saya yang satu ini baik sekali. Akhirnya saya menunggu kabar darinya hingga siang hari.

Siang hari sudah lewat jam 13.00 WIT teman saya kembali. Dia bilang bandara tutup, kemudian dia menelepon salah satu kenalan di bandara menanyakan tiket dan jadwal keberangkatan Susi Air. Akhirnya didapatlah nomor penjual tiket Susi Air. Saya segera memesan tiket melalui WhatsApp. Urusan tiket selesai pukul 13.22 WIT.

Ibu penjual tiket mengatakan syarat naik pesawat adalah surat keterangan sehat. Setelah tiket fix, saya keluar menuju klinik terdekat dan menanyakan kapan jadwal praktek dokter. Ternyata dokter umum ada jadwal praktek malam hari. Berarti saya baru bisa mendapatkan surat keterangan sehat pada malam nanti. Saya coba jalan lain. Saya menghubungi teman dokter dan beliau membalas bahwa syarat keluar kota adalah begini, begini, dan begini. Surat keterangan sehat hanya dikeluarkan oleh Satgas Covid-19 yang bertugas di pelabuhan. Saat itu jam menunjukkan pukul 14.15 WIT. Saya pun segera meluncur ke Pelabuhan.

Di pelabuhan saya ditegaskan melengkapi syarat- syarat diantaranya membuat surat pernyataan dan surat keterangan dari kepala kampung atau distrik sebelum berangkat. Saya bertanya, “sampai jam berapa posko ini buka?” mereka menjawab, hanya sampai pukul 17.00 WIT.

Saya segera berlari menuju parkiran, berusaha secepatnya menuju kantor desa yang paling dekat dengan kos. Sesampainya di sana, kantor kosong. Betul juga, hari itu adalah hari Senin tetapi hari itu ada libur cuti bersama. Saya kembali ke kos, bertanya kepada ibu kos dimana alamat rumah kepala kampung. Ternyata beliau tidak tahu. Saya mulai menyerah.

Tiba- tiba saya ingat pernah menyimpan nomor telepon kepala kampung tempat tugas saya. Saya segera menelponnya. Syukur Alhamdulillah… beliau mengangkat telepon, mengatakan posisi di kota dan membawa stempel. Pukul 15.20 WIT. Setelah menutup telepon saya buru- buru menuju tempat pengetikan terdekat. “maaf mbak, printernya nggak bisa”. Saya putar arah, mencari tempat lain. Buka.

“Mas, tolong saya minta kertas dan pinjam pulpen.” Saya segera menulis surat yang diperlukan. Menunggu surat diprint sambil pergi ke tempat lain membeli materai. Selesai mencetak surat yang diperlukan, saya segera menuju rumah dimana kepala kampung tinggal dan meminta tanda tangan. Itupun disertai acara telepon ke teman- teman, menanyakan alamat yang saya belum pernah datangi. Alhasil, saya bertemu dengan kepala kampung dan persyaratan lengkap.

Saya kembali menuju pelabuhan. Sesampai di sana berkas persyaratan saya serahkan dan saya diberitahu bahwa pemeriksaan kesehatan dilakukan di bandara sebelum keberangkatan. Alhamdulillah…

Sekedar informasi, selama saya bolak balik melengkapi persyaratan saya menggendong anak saya yg berusia 18 bulan.

Kala itu sudah sore, entah pukul berapa. Saya segera pulang. Sampai di kos saya mengabarkan suami bahwa semuanya clear. Sudah saatnya beli tiket pesawat Sorong- Jogja.  Hari berikutnya saya pulang bertemu dengan keluarga. Alhamdulillah perjalanan lancar. Sesampai di rumah saya menjalani karantina 14 hari dan selama itu saya sehat.

Sejak itu saya yakin, jika Allah berkehendak, tidak ada yang mustahil. Ini juga berlaku pada kondisi saya sekarang. Pekerjaan saya. Walaupun saat ini saya harus berjauhan dengan keluarga, tidak apa. Jika saatnya tiba, saya akan pulang dan berkumpul dengan keluarga. Sekarang saya hanya harus berikhtiar mencari jalan, dan terus berdoa. Berpasrah padaNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Instagram